Putusnya Perkawinan, Macamnya, Iddah dan Rujuk

MAKALAH
FIQH 1
Putusnya Perkawinan, Macamnya, Iddah dan Rujuk

        BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah
 Adapun yang melatarbelakangi penulisan dari makalah ini adalah untuk berkarya dibidang karya ilmiah agar pribadi penulis menjadi lebih kreatif  didalam berusaha dimasa yang akan datang. Selain itu juga, merupakan tugas kelompok dari Mata Kuliah “Fiqih I” yang tujuannya untuk menambah pengetahuan penulis dan juga pembaca tentang “Putusnya perkawinan dan akibat-akibatnya”. Karena persoalan perceraian ini merupakan perkara halal namun dibenci oleh Allah SWT. Dan juga kerap kali terjadi dilingkungan masyarakat kita. Oleh karena itu, mari kita sama-sama memperdalami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan putusnya perkawinan.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Faktor apa sajakah yang bisa menyebabkan putusnya suatu perkawinan?
2.      Apa yang dimaksud dengan iddah?
3.      Apa yang dimaksud dengan rujuk?
4.      Bagaimana hak pengasuhan anak setelah perceraian?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan apa saja yang menyebabkan putusnya perkawinan.
2.      Menjelaskan pengertian iddah.
3.      Menjelaskan pengertian rujuk.
4.      Menjelaskan hak pengasuhan anak setelah perceraian.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Macam-macam penyebab putusnya perkawinan diantara lain:
1.      THALAQ
Thalaq merupakan terlepasnya suatu ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan dikarenakan dari pihak suami telah mengucapkan lafadz yang tertentu. Misalnya suami berkata terhadap istrinya: “Engkau telah ku thalaq”, dengan ucapan ini ikatan nikah menjadi lepas, artinya suami istri menjadi bercerai.
Menurut asal thalaq itu hukumnya makruh karena thalaq itu merupakan perbuatan yang halal namun juga suatu hal yang dibenci oleh Allah SWT, sebagaimana nabi saw dari Ibnu ‘Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: diantara hal-hal yang halal namun dibenci oleh Allah ialah thalaq. (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim).

1.      Rukun Talaq
Rukun thalaq ada tiga, yaitu:
·         Suami yang menthalaq, dengan syarat baligh, berakal dengan kehendak sendiri.
·         Istri yang dithalaq.
·         Ucapan yang digunakan untuk menthalaq.
2.      Ucapan Talaq
Ucapan untuk menthalaq istri ada dua:
·         Ucapan sharih: yaitu ucapan yang tegas, maksudnya untuk menthalaq. Thalaq itu jatuh jika seseorang telah mengucapkan dengan sengaja walaupun hatinya tidak berniat menthalaq istrinya.
·         Ucapan yang kinayah: yaitu ucapan yang tidak jelas, maksudnya mungkin ucapan itu maksudnya alak lain. Ucapan thalaq kinayah memerlukan adanya niat, artinya jika ucapan thalaq itu dengan niat, sah thalaqnya dan jika tidak disertai niat maka thalaqnya belum jatuh.
3.      Thalaq dengan Surat
Thalaq dengan surat yang ditulis suami sendiri dan dibaca, hukumnya sama dengan lisan, tetapi jika surat itu tidak dibaca sebelum dikirim kepada istrinya, maka sama dengan kinayah.
4.      Thalaq dengan Dipaksa
Cerai dengan dipaksa dengan orang lain tanpa kemauannya sendiri hukumnya sama dengan kinayah, yaitu kalau memang hatinya membenarkan, maka jatuhlah thalaq itu dan kalau tidak maka thalaq itu belum dianggap jatuh. Sabda nabi saw dari Ibnu Abbas ra. Dari nabi saw, beliau bersabda:
“sesungguhnya Allah SWT melepaskan (dosa) keluputan dan lupa dari umat ku dan apa yang mereka kerjakan karena mereka dipaksa’. (HR. Ibnu Majah dan Hakim: dan kata Abu Halim tidak tsabit).
5.      Ta’liq Thalaq
Menta’liqkan thalaq ialah menggantungkan thalaq dengan sesuatu, misalnya suami berkata: “Engkau terthalaq apabila engkau pergi dari rumah ini tanpa izin saya” atau ucapan lain yang semacam itu. Jika istri meninggalkan rumah tanpa izin suami maka jatuhlah thalaqnya.
Selain itu juga, sahnya ta’liq thalaq ini harus memenuhi syarat:
·         Harus disandarkan pada sesuatu yang belum ada tetapi akan ada, apabila digantungkan atas perkara yang telah ada, maka thalaqnya jatuh pada saat ta’liq diucapakan. Misalnya seseorang mengatakan: ”kalau matahari terbit engkau terthalaq” padahal matahari sudah terbit, maka jatuh thalaqnya meskipun dalam bentuk ta’liq (digantungkan) apabila digantungkan kepada sesuatu yang mustahil, dianggap main-main misalnya suami berkata kepada istri: ”kalau ada unta yang bisa menerobos lubang jarum maka engkau saya thalaq”.
·         Sewaktu ta’liq thalaq diucapkan, perempuan yang akan dithalaq itu masih dalam ikatan perkawinan dan masih dalam kekuasaan suaminya.
·         Suami yang menggantungkan adalah suami sah dan yang akan dihalaq adalah istrinya.

Macam-macam Thalaq
Dari segi peluang untuk rukun kembali dalam rumah tangga ada dua macam thalaq, yaitu: thalaq raj’i dan thalaq ba’in diantaranya:
·         Thalaq Raj’i yaitu thalaq yang suami boleh ruju’ kembali, pada mantan istrinya dengan tidak perlu melakukan perkawinan (akad) baru, asal istrinya masih didalam iddahnya seperti thalaq satu dan dua.
·         Thalaq Ba’in yaitu thalaq yang suami tidak boleh ruju’ kembali kepada mantan istrinya. Melainkan mesti dengan akad baru. Thalaq ba’in ini terbagi atas dua bagian:
a)      Bain sughra (kecil) seperti thalaq tebus (khulu’) dan menthalaq istrinya yang belum tercampuri.
b)      Ba’in kubra (besar) seperti thalaq tiga.

2.      FASAKH
Fasakh artinya rusak atau putus, maksud fasakh disini adalah perceraian dengan merusak atau merombak hubungan nikah antara suami istri. Perombakan ini dilakukan oleh hakim dengan syarat-syarat dan sebab-sebab yang tertentu tanpa ucapan thalaq.
Perceraian dengan fasakh tidak dapat diruju’. Kalau suami hendak kembali kepada istrinya maka harus dengan akad baru. Perceraian dengan fasakh dilakukan dengan berulang-ulang lebih dari tiga kali, boleh kembali lagi dengan akad nikah yang baru.
1.      Fasakh karena cacat
Apabila sesudah akad nikah diketahui si suami atau si istri terdapat cacat, maka nikah itu boleh dipasah tetapi apabila pada waktu akad nikah atau sebelumnya sudah diketahui bahwa calon suami atau istri mempunyai cacat, maka nikah tersebut tidak dapat di fasakh lagi kecuali cacat lemah kemaluan dapat di fasakh sebelum bersetubuh. Dinyatakan dalam hadist dari Ka’ab bin Zaid ra. Bahwa Rasulullah SAW :
(pada suatu ketika) menikah dengan wanita dari Bani Ghaffar, maka suatu akan bergaul (bersetubuh) dan wanita itu telah berbaring dikainnya dan duduk dikasur, nampak oleh beliau ”baros” (kulit putih) dilambungnya, maka beliau berpaling dari kasur, lalu bersabda: ”Ambillah kainmu dan tutuplah kembali bajumu”, dan Rasulullah saw tidak mengambil segala sesuatu yang diberikan oleh beliau kepada wanita itu”.(HR. Ahmad dan Baihaqi).
2.      Fasakh karena gila atau penyakit kusta
Dalam hadist dinyatakan dari Umar ra, ia berkata:
”siapa saja laki-laki mengawini seorang wanita dan padanya terdapat tanda-tanda gila atau kusta atau supak, kemudian wanita itu disentuhnya, maka bagi wanita itu tetap berhak mas kawin yang sempurna. Yang demikian itu hak bagi suaminya hutang bagi walinya”. (HR. Malik dan Syafi’i).
3.      Fasakh karena lemah dzakar (impotent)
Jika ternyata lemah dzakar bagi laki-laki, maka menurut hadist dapat ditunggu sampai 1 tahun dari Said bin Al-Musayyab ra. Ia berkata:
”bahwa Umar bin Khattab telah memutuskan hukum bagi laki-laki yang ’unnah (impotent) yakni lemah dzakar diberi kesempatan satu tahun”. (HR. Sa’id bin Manshur).
4.      Fasakh karena ada daging tumbuh pada pihak perempuan
Jika ternyata terdapat daging tumbuh pada wanita, yang dianggap mengganggu dalam melaksanakan pergaulan maksudnya perkawinan, maka menurut hadist dari Ali ra. Berkata:
”siapa saja menikahi wanita, kemudian setelah dukhul (bersetubuh) dengan wanita itu ternyata terdapat penyakit supak, gila, kusta, bagi wanita itu berhak mas kawinnya karena disentuhnya, dan mas kawin itu berhak bagi suaminya (yakni wanita itu agar mengembalikannya) dan menjadi hutang diatas orang yang telah menipunya. Atau apabila ternyata terdapat daging tumbuh maka si suami boleh pilih yaitu telah menyentuhnya maka wanita itu berhak mas kawinnya karena melakukan sesuatu yang halal atas farjinya”. (HR. Sa’id bin Manshur).

3.      KHULU’
Khulu’ menurut syara’ adalah perceraian dengan adanya penukaran atau tebusan yang dimaksudkan, misalnya bangkai dari istri atau lainnya yang diberikan kepada suami atau tuannya, dengan lafadz thalaq atau khulu’ atau tebusan, sekalipun khulu’ itu terjadi dalam masa iddah raj’iyyah, karena wanita itu dalam iddah raj’iyah seperti saja istri dalam kebanyakan hukum-hukumnya.
Khulu’ juga berarti perceraian yang timbul atas kemauan istri dengan membayar ’iwadl kepada suami, misalnya kata suami: ”kau ku thalaq dengan bayaran seratus ribu rupuah”. Kemudian istri membayar kepadanya seratus ribu rupiah. Perceraian yang dilakukan secara khulu’ berakibat bekas suami tidak dapat ruju’ lagi dan tidak boleh menambah thalaq sewaktu iddah, hanya dibolehkan kawin lagi dengan aqad baru.

4.      ILA’
Ila’ artinya suami bersumpah tidak akan mencampuri istrinya selama 4 bulan atau lebih atau dalam masa yang tidak dientukan.
Seperti misalnya suami mengatakan ”saya tidak menggaulimu ” atau ” saya tidak menggaulimu selama 5 bulan” atau ”saya tidak menggaulimu sampai si pulan mati”.
Bersumpah seperti tersebut diatas hendaknya ditunggu sampai 4 bulan, kalau dia kembali baik kepada istrinya sebelum 4 bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah (kifarat saja). Dari Aisyah ra, ia berkata :
Rasulullah saw pernah bersumpah ila’ dari istri-istrinya dan beliau mengharamkan, lalu beliau jadikan yang haram menjadi halal, dan menjadikan kifayat bagi orang yang bersumpah”. (HR. Al-Firmidzi dan rawi-rawinya dapat dipercaya).

Ila’ bisa jadi dengan bersumpah demi Allah swt. Dengan menta’liqkan thalaqnya atau memerdekakan budak atau menetapkan melakukan ibadah (jika penggaulan dilakukan) misalnya: ”jika saya menggaulimu maka saya wajib berpuasa 5 hari.
Apabila (dalam masa ila’)sang suami melakukan penggaulan bukan karena dipaksa, baik dengan adanya tuntutan dari istri ataupun tidak maka wajib membayar kaffarah sumpah jika ila’ dilakukan dengan bersumpah demi Allah.
Tapi kalau sampai 4 bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruh pilih kepadanya dua perkara: membayar kifarat sumpah kemudian kembali baik dengan istrinya atau menthalaq istrinya. Maka hakim berhak menceraikan istrinya dengan paksa. Sebagian ulama berpendapat apabila sampai 4 bulan suami tidak kembali yakni bercampur dengan istrinya maka jatuhlah thalaq Ba’in, firman Allah swt dalam Al-Qur’an :
”dan jika mereka ber’azam (bertetap hati) unuk thalaq, maka sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha mengetahui (Q.S Al-Baqarah: 227).

5.      LI’AN
Li’an ialah ucapan tertentu yang digunakan untuk menuduh istri yang telah melakukan perbuatan yang elah mengotori dirinya (berzina) alasan suami untuk menolak anak. Li’an juga berarti sumpah seorang suami apabila ia menuduh istrinya berbuat zina. Sumpah itu diucapkan 4 kali, bahwa tuduhannya benar dan pada sumpah yang kelima ia meminta kutukan Allah seandainya ia berdusta. Pihak istri juga bersumpah 4 kali apabila ia tidak berbuat sebagaimana yang dituduhkan suaminya, pada sumpah yang kelima ia bersedia menerima kutukan Allah apabila tuduhan suaminya ternyata benar.

B.     IDDAH
Iddah menurut bahasa berasal dari kata “ al-‘udd ” dan “ al-Ihsha’ ” yang berarti bilangan atau hitungan, misalnya bilangan harta atau hari jika dihitung satu per satu dan jumlah keseluruhanya. Firman Allah dalam Al-qur’an :
إنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا                                                                               
  “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan”. (QS. At-Taubah (9): 36)
Menurut istilah  Fuqaha’ Iddah berarti masa menunggu wanita sehingga halal bagi suami lain.
Dari pengertian diatas kami dapat pengambil kesimpulan bahwa Iddah  ialah masa menanti atau menunggu yang diwajibkan atas seorang perempuan yang diceraikan oleh  suaminya (cerai hidup atau cerai mati), tujuannya, guna atau untuk mengetahui kandungan perempuan itu berisi (hamil) atau tidak, serta untuk menunaikan satu perintah dari Allah SWT.
1.      Macam-macam iddah
1.      Iddah Talak
Iddah talak artinya iddah yang terjadi karna perceraian perempuan perempuan yang berada dalam iddah talak  antara lain sebagai berikut.
a.       perempuan yang telah di campuri dan ia belum putus dalam haid.

b.       perempuan yang di campuri, dan tidak haid baik perempuan tua yang tidak haid maupun yang belum balig.

2.     Iddah  hamil
Iddah yang terjadi apabila perempuan perempuan yang di ceraikan itu sedang hamil. Iddah mereka adalah sampai melahirkan anak.
Sebagaimana Firman Allah SWT:
“ Dan perempuan perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai  mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwah kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.

3.     Iddah wafat
Iddah wafat yaitu iddah terjadi apabila seorang perempuan di tinggal mati suaminya. Dan iddah nya selama empat bulan sepuluh hari.
Menurut jumhur salaf, iddah nya habis setelah anaknya lahir, walaupun belum cukup 4 bulan 10 hari,namun ada juga pendapat lain j yang mengatakan iddah nya harus mengambil waktu yang panjang Artinya walaupun anaknya belum lahir dan iddahnya sudah sampai  4 bulan 10 hari maka harus menunggu anak itu lahir begitu juga sebaliknya.

4.     Iddah Wanita yang kehilagan suaminya
Bila ada seorang perempuan yang kehilangan suaminya dan tidak di ketahui keberadaannya, apakah ia telah mati atau msih hidup, maka wajib atau ia harus menunggu selama 4 tahun lamanya. kemudian hendaklah ia beriddah selama 4 bulan 10 hari.

“ Dari umar r.a “ Bagi perempuan yang kehilangan suaminya dan ia tidak mengetahui di mana dia berada, sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun, kemudian hendaklah ia beriddah empat bulan sepuluh hari, barulah ia boleh menikah.”
 (H.R .Malik )
Berdasarkan kisah tersebut, maka dapat di tarik kesimpulan bahwa, menurut fatwa Umar bin Khathab, perempuan perempuan yang kehilangan suami harus menunggu selama empat tahun, dan beriddah empat bulan sepuluh hari, terhitung dari ia mengajukan pengaduan kepada hakim.

5.      Iddah perempuan yang di – illa’
Jumhur fugaha mengatakan bahwa istri yang di illa’ adalah istri yang di cerai juga. oleh karna itu, ia harus di iddah seperti perempuan yang di cerai. Dan Zabir bin Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib iddah, jika ia telah mengalami haid  tiga kali selam empat bulan. dan pendapt ini di jadikan pegangan oleh segolongan fuqaha dan di riwayatkan pula oleh ibnu abbas r.a. dengan alasan bahwa di adakanya iddah adalah untuk mengetahiu kosongnya rahim, sedang kekosongan ini sudah dapat di ketahui dari masa tersebut


2.      Hak perempuan dalam iddah

1.     Perempuan yang taat dalam iddah raj’iyah berhak menerima tempat tinggal atau rumah, pakaian dan keperluan hidupnya, dari yang menalaknya (bekas suaminya); kecuali istri yang durhaka, tidak berhak menerima apa apa.

Sabda Rasulullah Saw:

“ Dari Fatimah binti Qais, “ Rasulullah Saw bersabda, kepadanya, perempuan yang berhak menerima nafkah dan rumah kediaman bekas suaminya, itu apabila ruju’ kembali kepadanya.”
( riwayat Ahmad dan nasai )

2.     Perempuan yang dalam iddah bain, kalau ia mengandung,  ia berhak juga atas kediaman, nafkah, dan pakaian.

firman Allah yang berbunyi”

         “  Dan jika mereka ( istri istri  yang sudah di talak ) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga bersalin.”        
                 ( S. At- talaq : 6 )

C.    RUJUK
Rujuk artinya kembali. Menurut syara' adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah talak raj'i.
....وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا.....
Artinya:
"Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah."(Q.S. Al-Baqarah:228)
Bila seseorang telah menceraikan istrinya, maka ia dibolehkan bahkan dianjurkan untuk rujuk kembali dengan syarat bila keduanya betul-betul hendak kembali (islah). Dengan arti bahwa mereka benar-benar sama-sama saling mengerti dan penuh rasa tanggung jawab antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, bila suami mempergunakan kesempatan rujuk itu bukan untuk berbuat islah, bahkan sebaliknya untuk mengniaya tanpa memberi nafkah, atau semata-mata untuk menahan istri agar jangan menikah dengan orang lain, dan sebagainya. Maka suami tidak berhak untuk merujuk istrinya itu, malah haram hukumnya.

1.      Macam Rujuk
Mengenai macamnya rujuk, hanya dapat dilakukan dalam talak yang raj'i selama istri masih dalam masa iddah. Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُمَا لَمَّاسَأَلَهُ سَائِلٌ قَالَ: اَمَا اَنْتَ طَلَقْتَ اِمْرَاَتَكَ مَرَّةً اَوْمَرَّتَيْنِ فَاِنَّ رَسُوْلَ اللّهِ اَمَرَنِى اَنْ اُرَجِعُهَا          (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Umar r.a waktu itu ia ditanya oleh seseorang, ia berkata,"Adapun engkau yang telah mencerikan istri baru sekali atau dua kali, maka sesungguhnya Rasulullah SAW. telah menyuruhku merujuk istriku kembali."(HR.Muslim)
Firman Allah SWT:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ....
Artinya:
"Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf pula."(Q.S. Al-Baqarah:231)

2.      Syarat dan Rukun Rujuk
Syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
F Saksi untuk rujuk
F Rujuk dengan kata-kata atau penggaulan istri
F Kedua belah pihak yakin dapat hidup bersama kembali dengan baik
F Istri telah di campuri
F Istri baru dicerai dua kali
F  Istri yang di cerai dalam masa iddah raj'i
Rukun rujuk antara lain:
*      Ada suami yang merujuk atau wakilnya
*      Ada istri yang dirujuk dan sudah dicampurinya
*      Kedua belah pihak (suami dan istri) sama-sama suka
*      Dengan pernyataan ijab qobul, seperti mengucapkan kata-kata rujuk misalnya:
"aku rujuk engkau pada hari ini". Atau: "telah ku rujuk istriku yang bernama:……..pada hari ini".dan sebagainya.

D.    HADHANAH
Hak asuh anak dalam bahasa arabnya Hadhanah berasal dari kata hidhan yang berarti lambung. Seperti dalam kalimat ‘hadhanan at-thairu baidhahu’ burung itu mengempit telur dibawah sayapnya, begitu juga seorang ibu yang membuai anaknya dalam pelukan atau lebih tepatnya hadhanah ini diartikan dengan pemeliharaan dan pendidikan.
Para ahli fiqh mendeinisikan hadhanah sebagai melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki ataupun perempuan yang belum tamyiz untuk menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
Hadhanah merupakan kewajiban bagi kedua orang tua untuk bersama-sama mengasuh dan melindungi anaknya sampai batas umur yang telah ditetapkan, namun hal itu akan sulit terealisasikan jika ayah dan ibu terjebak dalam kasus perceraian. Akan timbul masalah siapakah yang berhak atas kewajiban mengasuh anak tersebut.

1.      Dasar Hukum Hadhanah
Dalam alqur’an terdapat ayat yang menyinggung mengenai hadhanah namun tidak dijelaskan secara gamblang ketentuan-ketentuannya, dari sini hadis yang berfungsi sebagai penjelas al-qur’an memainkan perannya. Dan nash-nash al-qur’an maupun hadis yang berbicara mengenai hadhanah antara lain:
·         Surat Al-Baqarah Ayat 233
وعلى المولود له  رزقهن وكسوتهن بالمعزوف
“adalah kewajiban ayah untuk memberi nakah dan pakaian untuk anak dan istri”
·         Hadis Nabi  yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim dari Abdulllah bin ‘Amr;
انّ امراة قالت: يارسول الله, إنّ ابنى هذا كان بطنى له وعاء وثديى له سقاء وحجرى له حواء, وإن اباه طلقنى واراد ان ينزعه منّى, فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم انت احق به ما لم تنكحى
Bahwa seorang wanita berkata, “Ya Rasululah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan tetek sayalah yang telah menjadi minumannya dan haribaankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan daku dan hendak menceraikan dia pula dari sisiku”. Maka Rasullulah bersabda,”engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum menikah dengan orang lain”.
·         Atsar dari Ibnu Uyainah
خيّرنى على رضي الله عنه بين امي و عمى ثم قال لآخ اصغر منى وهذا ايضا لو قد بلغ مبلغ هذا الخيرته
Khalifah ali pernah menyuruhku memilih antara ikut dengan ibuku atau pamanku. Ia pun mengatakan hal yang sama  pada saudaraku yang lebih kecil dari pada aku. Hal yang sama pula dikatakan pula pada anak yang telah mencapai usia untuk dapat memilih”                  

2.      Implementasi Terhadap Hukum Islam (Fiqh)
Dari beberapa nash Alqur’an dan Hadis di atas, timbullah hukum tetap atas hadhanah, yang akan dijelaskan dalam sub bab-sub bab sebagai berikut:
a.       Hukum Hadhanah
Para ulama menetapkan bahwa hadhanah hukumnya wajib, dimana kewajibannya tidak hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.
b.      Syarat-Syarat Bagi Yang Melakukan Hadhanah
Untuk kepentingan anak dan pemeliharaannya diperlukan pelaku hadhanah harus memilki kecakapan dan memenuhi syarat-syarat hadhanah, jika syarat-syarat tertentu tidak dapat terpenuhi satu saja, maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.
Adapun syarat-syarat melakukan hadhanah antara lain:
1.      Baligh berakal, tidak terganggu ingatannya. Oleh sebab itu, seorang ibu atau ayah  yang mengalami gangguan jiwa atau ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah. Ahmad bin hambal menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular.
2.      Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik anak, dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.
3.      Dapat memegang amanah, sehingga dapat lebih menjamin pemeliharaan anak. Orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak yang diasuh, oleh karena itu tidak layak mendapatkan tugas ini.
4.      Beragama islam, sorang non muslim tidak boleh ditunjuk sebagai pengasuh atas anak yang muslim.namun menurut golongan hanafi, ibnu qasim dan bakan maliki serta abu tsaur berpendapat bahwa hadhanah tetap dapatdilakukan oleh pengasuh yang kafir, selama bukan kafir murtad.
5.      Ibunya belum menikah lagi, hal ini dikarenakan kekhawatiran suami kedua tidak merelakan istrinya disibukkan mengurus anaknya dari suami pertama. Namun terdapat pengecualian jika suami  keduanya merupakan kerabat si anak, maka pelaksanaan hadhanah masih diperbolehkan atas ibu.

3.      Batasan Waktu Hadhanah
Dalam pelaksaaannya, hadhanah terbagi menjadi 2 periode, sebelum mumayyiz dan mumayyiz. Pembagian periode berhubungan dengan pihak-pihak yang berhak mendapatkan hak hadhanah.
o    Periode sebelum mumayyiz
Periode ini adalah dari waktu lahir sampi menjelang umur tujuh atau delapan tahun. Pada masa itu, seorang anak belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan berbahaya baginya. Pada periode ini, setelah melengkapi syarat-syarat hadhanah, ulama menyimpulkan bahwa pihak ibu lebih berhak atas hak asuh anaknya, Seperti hadis nabi yang telah dijelaskan sebelumnya.
Terpilihnya ibu sebagai pihak yang lebih berhak mendapatkan hak asuh atas anaknya dengan pertimbangan bahwa ibulah yang lebih mengerti dengan kebutuhan anaknya dalam masa tersebut dan lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya. Namun, hak ini akan hilang jika ibu menikah dengan lelaki lain  yang sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan si anak dan hak tersebut akan dilimpahkan pada ayah si anak.


o    Periode mumayyiz
Masa mumayyiz adalah dari umur tujuh tahun sampai menjelang baligh berakal. Pada masa ini seorang anak secara sederhana elah mampu membedakan antara yang berbahaya dan yang bermanfaat baginya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri untuk ikut ayah atau ibunya. Namun kementrian kehakiman berpendapat bahwa kemaslahatanlah yang harus dijadikan pertimbangan bagi hakim untuk menetapkan kepentingan anak sampai usia 11 tahun.

4.      Urutan orang-orang yang berhak dalam hadhanah
Jika dalam penentuan pihak yang mendapatkan hak asuh antara ayah dan ibu terdapat kecacatan maka hak asuh anak tersebut jatuh pada kerabat-kerabat ibu dan ayahnya. Adapun urutan orang-orang yang berhak mendapatkan hak asuh tersebut adalah sebagai berikut:
Dari pihak perempuan
1.      Ibu anak
2.      Nenek dari pihak ibu
3.      Nenek dari pihak ayah
4.      Saudara kandung perempuan anak
5.      Saudara perempuan seibu
6.      Saudara perempuan seayah
7.      Anak perempuan dari saudara dari saudara perempuan sekandung atau seayah
8.      Saudara perempuan ibu yang sekandung atau seibu dengannya
9.      Anak perempuan dari saudara perempuan seayah
10.  Ank perempuan dari saudar laki-laki sekandung, seibu atau seayah
11.  Bibi sekandung, seibu, seayah dengan ayah
12.  Bibinya ibu dari pihak ibunya atau ayahnya
13.  Bibinya ayah dari pihak ayahnya atau ibunya
Dari pihak laki-laki
1.      Ayah kandung anak
1.      Kakek dari pihak ayah
2.      Saudara laki-laki sekandung atau seayah
3.      Anak laki-laki dari saudaralaki-laki sekandung atau seayah
4.      Paman yang sekandung dengan ayah
5.      Paman yang seayah dengan ayah
6.      Pamannya ayah yang sekandung
7.      Pamannya ayah yang seayah dengan ayah


BAB III
PENUTUP

 A.    KESIMPULAN
Thalaq merupakan terlepasnya suatu ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan dikarenakan dari pihak suami telah mengucapkan lafadz yang tertentu. Misalnya suami berkata terhadap istrinya: “Engkau telah ku thalaq”, dengan ucapan ini ikatan nikah menjadi lepas, artinya suami istri menjadi bercerai.
Menurut asal thalaq itu hukumnya makruh karena thalaq itu merupakan perbuatan yang halal namun juga suatu hal yang dibenci oleh Allah SWT, sebagaimana nabi saw dari Ibnu ‘Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: diantara hal-hal yang halal namun dibenci oleh Allah ialah thalaq. (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim).
Iddah  ialah masa menanti atau menunggu yang diwajibkan atas seorang perempuan yang diceraikan oleh  suaminya (cerai hidup atau cerai mati), tujuannya, guna atau untuk mengetahui kandungan perempuan itu berisi (hamil) atau tidak, serta untuk menunaikan satu perintah dari Allah SWT.
Rujuk artinya kembali. Menurut syara' adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah talak raj'i.
Para ahli fiqh mendeinisikan hadhanah sebagai melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki ataupun perempuan yang belum tamyiz untuk menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.

Daftar Pustaka
Sabiq Sayyid. 2007.Fiqh Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara:Jakarta.
Latif Djamil. 1981. Aneka Hukum Perceraian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Drs. Slamet Abidin dan Drs. H. Aminudin.1999. Fiqh munakahat II. Bandung: CV Pustaka Setia.

Comments

Popular Posts