AKHLAK TASAWUF : Sifat-sifat Terpuji: Taubat, Zuhud, Wara’, dan Ikhlas
MAKALAH
AKHLAK TASAWUF
Sifat-sifat Terpuji:
Taubat, Zuhud, Wara’, dan Ikhlas
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Pembuatan makalah ini dilatar
belakangi oleh keingintahuan kami sebagai makhluk ciptaan tuhan yang diberi
akal dan pikiran sehingga menuntut kami untuk mencari tahu segala sesuatu yang
telah diciptakannya. Dari sekian banyak penciptaan Allah SWT. Salah satunya
adalah kehidupan. Akhlak adalah hal ikhwal yang melekat pada jiwa (Sanubari).
Kedudukan akhlak manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun
masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada
bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir dan
batinnya. Dan bagi orang-orang yang mempunyai akhlak. Tentunya mereka adalah
orang-orang yang mempunyai sifat terpuji. Diantaranya Taubat, Zuhud, Wara’ dan
Ikhlas. Seperti dalam menyusun makalah ini didasarkan atas tugas kelompok yang
harus diselesaikan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari sifat terpuji: taubah, zuhud, wara’,dan ikhlas?
2.
Apa saja keutamaan dari taubat?
3.
Apa saja Tanda-tanda Zuhud, tingkatan
wara’ dan Hakikat Ikhlas?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui apa pengertian dari Taubat, Zuhud, Wara’ dan
Ikhlas
2.
Mengetahui apa saja keutamaan dari Taubat
3.
Mengetahui tanda-tanda dari Zuhud
4.
Mengetahui tingkatan wara’ dan hakikat ikhlas
BAB
II
PEMBAHASAN
Sifat-sifat Terpuji: Taubat, Zuhud,
Wara’ dan Ikhlas
Sifat terpuji merupakan sifat yang sangat dicintai Allah
swt. Bahkan sifat ini adalah cara untuk kita untuk menunjukan rasa sayang dan
cinta kita kepada Allah swt. Sifat-sifat terpuji adalah sifat yang dimiliki
bagi orang-orang yang beriman dan memiliki akhlak mahmudah (akhlak terpuji).
Sifat-sifat tersebut adalah : Taubat, Zuhud, Wara’ dan Ikhlas.
A. TAUBAT
1.
Pengertian Taubat
Menurut
Al-Ghazali, bahwa taubat adalah suatu pengertian yang tersusun secara berurutan
dari tiga hal, yaitu: ilmu, hal (kondisi spiritual) dan perbuatan.
Ilmu
adalah mengetahui seberapa besarnya dosa dan keberadaannya sebagai tabir
penghalang antara hamba dan setiap yang dicintai. Jika hamba telah mengetahui
hal tersebut secara benar dan penuh keyakinan hati maka dari pengetahuan ini
akan muncul rasa sedih akibat kehilangan apa yang dicintai. Sebab, apabila hati
merasa kehilangan apa yang dicintainya maka ia akan merasa sedih, dan setiap
hal yang tidak dapat dilakukannya akan disesalinya. Rasa sedihnya tidak dapat
melakukan apa yang dicintainya ini disebut penyesalan. Bila rasa sedih ini
mendominasi hati maka dari rasa sedih di dalam hati ini akan muncul suatu
keadaan lain yang disebut iradah
(kehendak) dan qashd (keinginan)
kepada perbuatan yang memiliki hubungan dengan masa sekarang, masa lalu dan
masa akan dating.
Jadi
ilmu merupakan factor utama dan perintis berbagai hal kebaikan. Ilmu yang
dimaksud disini ialah iman dan keyakinan (al-yaqin). Pengetahuan, penyesalan
dan keinginan yang berkaitan dengan masa sekarang, masa yang akan datangdan
menyesali apa yang telah lewat merupakan tiga hal yang tercapai secara
berurutan. Ketiganya disebut taubat, bahkan sering kali istilah taubat dipakai
untuk arti penyesalan saja. Sedangkan pengetahuan dijadikan sebagai
pendahuluan, and tindakan meninggalkan (dosa yang pernah dilakukan) dijadikan
sebagai buah. Dengan pengertian inilah Nabi saw bersabda:”Taubat adalah
penyesalan.”
Dengan
pegertian ini taubat dikatakan bahwa arti taubat adalah mencarinya apa yang ada
di dalam karena kesalahan yang telah terjadi.
Dikatakan
pula, bahwa taubat adalah api yang menyala didalam hati dan letupan hati yang
tidak melebar. Atau, taubat adalah melepas pakaian kesangaran dan menyebarkan
hamparan kesetiaan.
Sahal
bin Abdullah at-Tasturi berkata, “Taubat adalah bergantinya berbagai gerakan
yang tercela dengan berbagai gerakan yang terpuji. Tetapi hal ini tidak
tercapai secara sempurna kecuali dengan berkhalwat, diam dan memakan yang
halal.
Berbagai
pendapat tentang definisa Taubat ini tidak terhitung banyaknya. Tetapi mencari
pengetahuan tentang berbagai hakikat persoalan adalah lebih penting ketimbang
mencari lafazh semata-mata.
2.
Kewajiban /
Keutamaan Taubat
ketahuilah
bahwa kewajiban taubat itu dinyatakan secara tegas didalam berbagai ayat dan
hadits. Allah berfirman:
“Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (an-Nur:31)
“Hai orang-orang
yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan yang
semurni-murninya….” (at-Tahrim:8)
Taubat
yang semurni-murninya (nashuh) yakni semata=mata karena Allah, terbebas dari
berbagai kotoran. Tentang keutamman taubat, diungkapkan oleh firman Allah:
“Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan Dia (juga) mencintai orang-orang
yang mensucikan diri.” (al-Baqarah:222)
Rasulullah
saw bersabda:
“Sesungguhnya
Allah lebih gembira terhadap taubatan seorang hamba yang beriman, ketimbang
(kegembiraan) seorang yang singgah disebuah tempat yang berbahaya dan
membinasakan, ia membawa serta tunggangan yang memuat makanan dan minimannya,
kemudian ia merebahkan kepalanya hingga tertidur nyenyak. Setelah bangun, ia
mendapati tunggangannya telah pergi, lalu ia pun mencarinya. Setelah merasa
kepanasan dan kehausan, atau apa yang dikehendaki Allah, ia berkata, ‘Aku
kembali ke tempatku yang aku pakai untuk tidur lalu aku akan tidur hingga
mati’. Kemudian ia meletakkan kepalanya di atas lengannya untuk bersiap-siap
mati. Tetapi kemudian ia terbangun dan mendapatkan tunggangannya beserta
makanan dan minumannya. Sungguh Allah lebih gembira terhadap taubat seorang
hamba yang beriman ketimbang (kegembiraan) yang mendapatkan tungganganya ini.” (Bukhari dan Muslim)
Berbagai
ayat dan hadits tentang keutamaan taubat tak terhitung banyaknya. Bahkan uamt
telah sepakat atas wajibnya taubat. Karena makna taubat adalah mengetahui bahwa
dosa dan kemaksiatan adalah sesuatu yang membinasakan dan dapat menjauhkan diri
dari Allah swt. Diantara makna taubat adalah, meninggalkan kemaksiatan
sekarang, bertekad untuk meninggalkannya di masa dating, dan menyesali kekurangan
yang telah terjadi di masa lampau. Hal ini tidak diragukan lagi merupakan hal
yang wajib dilakukan. Sedangkan penyesalan atas apa yang telah lalu dan
menguatkan penyesalan tersebut juga wajib dilakukan. Penyesalan adalah jiwa
taubat, dengannya tercapai kesempurnaan penyesalan.
a)
Kewajiban taubat harus segera
dilaksanakan, tak perlu diragukan lagi karena mengetahui keberadaan maksiat
sebagai hal yang membinasakan adalah merupakan bagian dari iman itu sendiri: ia
adalah kewajiban yang harus disegerakan. Jadi, pengetahuan tentang bahaya
berbagai dosa dimaksudkan agar menjadi pendorong untuk meninggalkannya. Siapa
yang tidak meninggalkannya maka ia kehilangan bagian dari iman. Sabda Nabi saw:
“Tidaklah berzina orang yang berzina ketika berzina sedangkan ia orang yang
beriman.” (Bukhari dan Muslim)
Nabi saw tidak bermaksud meniadakan iman seperti mengenal
Allah, wahdaniyah-Nya,
sifat-sifatnya-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya, karena hal itu tidak
dapat dinafikan oleh perbuatan zina dan kemaksiatan, tetapi yang dimaksudkan
adalah meniadakan keimanan karena keberadaan zina itu dapat menjauhkan diri
dari Allah dan mengakibatkan kemurkaan-Nya.
b)
Kesempurnaan,
syarat dan kelanggengan taubat hingga akhir kehidupan, telah disebutkan
bahawa taubat adalah pengertian tentang penyesalan yang melahirkan tekad dan
keinginan. Dan penyesalan lahir dari pengetahuan tentang keberadaan maksiat
sebagai penghalang dirinya dan Allah. Masing-masing dari pengetahuan,
penyesalan dan tekad itu memiliki kelanggengan dan kesempurnaan, sedangkan bagi
kesempurnaannya ada tanda-tandanya, dan bagi kelanggengannya ada
syarat-syaratnya. Tandanya adalah penyesalan dan kesedihan yang verlarut-larut,
linangan air mata, tangis dan renungan yang panjang. Syarat sah nya, yang
berkaitan dengan masa lampau, adalah membawa pikirannya kembali ke hari pertama
ketika ia mencapai usia baligh dan memeriksa apa yang dilakukannya tahun demi
tahun, bulan demi bulan, hari demi hari dll. Lalu memperhatikan berbagai
kekurangan dalam ketaatan dan berbagai kemaksiatan yang telah dilakukan. Sabda
Nabi saw:
“Takutlah kepada
Allah dimana saja kamu berada dan sesalilah keburukan dengan kebaikan, pasti
akan menghapuskannya.”
c)
Pembagian hamba
dalam kaitannya dengan kelanggengan taubat, tingkatan
pertama,
orang bermaksiat melakukan taubat dan istiqamah diatas taubat hingga akhir
kehidupannya. Orang yang bersegera melakukan berbagai kebaikan dan mengganti
berbagai keburukan dengan berbagai kebaikan. Taubat ini disebut taubatan
nashuha. Tingkatan kedua,
orang yang bertaubat menempuh jalan istiqamah dalam ketaatan dan meninggalkan
semua dosa besar, tetapi tidak dapat terlepas dari dosa yang membelitnya.
Tingkatan ini keadaan yang umum dari orang yang bertaubat. Puncak usaha yang
dilakukan dengan memperbanyak kebaikan. Sedangkan melepaskan diri dari keburukan secara total,
sangat jauh kemungkinannya. Mereka mendapatkan janji kebaikan dari Allah swt :
”Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari
kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. “(an-Najm:32). Tingkatan ketiga, bertaubat dan bertahandi atas istiqamah beberapa
saat kemudian dikalahkan oleh syahwat dalam sebagian dosa. Ia melakukan dosa
karena dipengaruhi oleh syahwat tapi masih berkeinginan untuk mendapat karunia
Allah swt. Tingkatan keempat,
bertaubat dan langsung istiqamah barang sesaat kemudian kembali lagi melakukan
dosa atau banyak dosa tanpa memiliki hasrat untuk bertaubat, dan tanpa
menyesali perbuatannya, bahkan tenggelam di dalam dosa.
B. ZUHUD
1.
Pengertian Zuhud
Jika
berbicara tentang zuhud ini ada kaitannya dengan sufi, maksudnya zuhud
merupakan bagian dari sufi. Zuhud dalam istilah tasawuf berarti jalan spiritual
atau tahapan-tahapan spiritual (maqamat)
yang harus dilalui seorang sufi. Zuhud artinya sikap menjauhkan diri dari
segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia. Seorang yang zuhud seharusnya
hatinya tidak terbelenggu atau hatinya tidak terikat oleh hal-hal yang bersifat
duniawi dan tidak menjadikannya sebagai tujuan. Hanya sarana untuk mencapai
derajat ketaqwaan yang merupakan bekal untuk akhirat. Allah berfirman dalam
surat An-Nisa’ (4):77, yang artinya: “Katakanlah,
‘kesenangan dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertaqwa,”
2.
Tanda-tanda Zuhud
Ada tiga tanda
kezuhudan
yang harus ada pada batin seseorang:
Pertama, tidak bergembira
dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang. Sebagaimana
firman Allah: “Supaya kamu jangan berduka
cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (al-Hadid:23) م
Kedua, sama saja
disisinya orang yang mencela dan orang yang mencacinya. Yang pertama merupakan
tanda zuhud dalam harta sedangkan yang kedua merupakan tanda zuhud dalam
kedudukan.
Ketiga, hendaknya ia
bersama Allah dan hatinya lebih banyak didominasi oleh lezatnya ketaatan,
karena hati tidak dapat terbebas sama sekali dari cinta; cinta dunia atau cinta
Allah. Kedua cinta ini di dalam hati seperti air dan udara yang ada di dalam
gelas. Apabila air dimasukkan kedalam gelas maka udara pun akan keluar.
Keduanya tidak dapat bertemu. Setiap orang yang akrab dengan Allah pasti ia
akan sibuk dengan-Nya dan tidak akan sibuk dengan selain-Nya. Oleh karena itu
dikatakan sebagian me"reka, “Kepada apa zuhud itu membawa mereka?”
dijawab, “Kepada keakraban dengan Allah.” Sedangkan keakraban dengan dunia dan
keakraban dengan Allah tidak akan pernah bertemu.
Jadi
tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan,
kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan, karena adanya dominasi keakraban
dengan Allah. Dari tanda-tanda ini tentu muncul beberapa tanda yang lainnya.
Yahya
bin Mu’adz berkata, “Tanda zuhud adalah kedermawanan dengan apa yang ada.”
Ibnu
Khafif berkata, “Tandanya ialah adanya rasa lega dalam keluar dari kepemilikan.
“Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.”
Ahmad
bin Hanbal dan Sufyan rahimahumallah
berkata, “Tanda zuhud pendeknya angan-angan.”
As-Surri
berkata, “Tidak akan baik kehidupan orang yang zuhud apabila ia sibuk dari
dirinya, dan tidak akan baik kehidupan orang yang ‘arif apabila ia sibuk dengan
dirinya.”
As-Surri
berkata lagi, “Aku telah mempraktekan segala sesuatu dari perkara zuhud lalu
aku mendapatkan darinya apa yang aku inginkan kecuali zuhud pada orang; karena
sesungguhnya aku tidak dapat mencapainya dan tidak kuasa mendapatkannya.”
Al-Fudhail
rahimahumallah berkata, “Allah
menjadi segenap keburukan dalam sebuah rumah dan menjadikan kuncinya adalah
cinta dunia. Dan Allah menjadikan segenap kebaikan dalam sebuah rumah dan
menjadikan kuncinya adalah zuhud dari dunia.”
C.
WARA’
1.
Pengertian Wara’
Wara’
adalah meninggalkan segala hal yang syubhat: yakni
menjauhi atau meninggalkan segala hal yangbelum jelas haram dan halalnya.Yakni
laku (mujahaddah) untuk mencari hidup yang halal takut terjerumus dalam hal
yang haram. Oleh karena itu dia menjauhi pula setiap hal yang masih samar /
syubhat. Wara’ ialah salah satu sendi etika Islam yang sangat penting. Dalam
hadits Nabi bersabda :
“ Hendaklah
kamu menjalankan wara’, agar kamu jadi ahli ibadah.”
Prilaku
hidup wara’ memang penting bagi perkembangan mentalitas keislaman, apalagi bagi
tasawuf. Dalam tasawuf wara’ merupakan langkah kedua sesudah taubat, dan
disamping itu merupakan pembinaan mentalitas (akhlak) juga merupakan tangga
awal untuk membersihkan hati dari ikatan keduniaan. Ibrahim bin Adham
mengatakan:
“Wara’
adalah meninggalkan setiap hal yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang
tidak perlu, yaitu meniggalkan berbagai macam kesenangan.” Jadi prilaku wara’
para sufi telah mulai menghidari berbagai macam kenikmatan yang halal yang
menurut pertimbangan mereka tidak penting.
2.
Tingkatan Wara’
Tingkatn pertama, wara’ al-‘udul
(wara’ orang-orang yang memiliki kelayakan moralitas) yaitu setiap hal yang
oleh fatwa harus diharamkan diantara hal yang masuk kedalam kategori haram mutlak yang bila dilanggar maka
pelanggarannya dinilai melakukan kefasikan dan kemaksiatan.
Tingkatan kedua, contohnya adalah
setiap syubhat yang tidak wajib dijauhi tetapi dianjurkan untuk dijauhi.
Sedangkan apa yang wajib untuk dijauhi maka dimasukkan kedalam yang haram.
Diantaranya apa yang dibenci untuk dijauhi karena bersikap wra’ darinya
merupakan wara’ orang-orang yang was-was. Setiap orang yang tidak mau berburu
karena takut jika buruan itu telah lepas dari seseorang yang telah menangkap
dan memilikinya. Ini adalah was-was, sedangkan apa yang dianjurkan untuk
dijauhi tetapitidak wajib adalah yang disabdakan Nabi saw:
“Tinggalkanlah apa
yang merugikanmu kepada apa yang tidak merugikanmu.”
Tingkatan ketiga, wara’ al-Muttaqin.
Sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi saw:
“Seorang hamba
tidak akan mencapai derajat mutaqin sehingga dia meninggalkan apa yang tidak
berdosa karena takut terhadap apa yang berdosa.”
Umar
ra berkata:
“Kami dahulu meninggalkan Sembilan per
sepuluh barang yang halal karena takut terjerumus kedalam yang haram.”
Setiap
barang halal yang tidak terlepas dari kekhawatiran maka ia adalah halalyang
baik pada tingkat ketiga. Yakni setiap hal yang pelaksanaannya tidak
dikhawatirkan membawa kepada kemaksiatan sama sekali.
Tingkatan keempat,
wara’ash-shiddiqin. Halal disisi mereka adalah setiap hal yang dalam
sebab-sebabnya tidak didahului oleh kemaksiatan, tidak dipergunakan untuk
kemaksiatan, dan tidak pula dimaksudkan untuk melampiaskan kebutuhan baik
sekarang ataupun dimasa yang akan dating , tetapi dimakan semata-mata karena
Allah dan untuk memperkuat ibadah kepada-Nya dan mempertahankan kehidupan
karena-Nya.
Ini
adalah tingkatan orang-orang yang bertauhid (Muwahhidin) yang telah terhindar
dari tuntutan nafsu mereka.
D.
Ikhlas
1.
Pengertian Ikhlas
Secara
bahasa (lughah) kata ikhlas berasal dari bahasa Arab: khalasha, yakhlushu,
khulushan, ikhlashan, yang berarti bersih, tiada tercampur, jujur, tulus,
membersihkan sesuatu hingga menjadi bersih.
Sedangkan
secara istilah, ikhlas memiliki bermacam-macam arti. Imam al-Qusyairi dalam
kitab Risalatul Qusyairiyah-nya menyebutkan perhal makna ikhlas. Ikhlas berarti
bermaksud menjadikan Allah swt. Sebagai satu-satunya sesembahan. Syekh Abu Ali
ad-Daqqaq berkata: keikhlasan berarti mensucikan amal-amal perbuatan dari
campur tangan sesame makhluk, apakah itu sifat memperoleh pujian ataupun
penghormatan dari manusia.
Ikhlas
juga berarti rahasia dari rahasia Tuhan yang ada dalam hati hamba-hamba-Nya.
Nabi bersabda: “Aku bertanya kepada
Jibril as. Tentang ikhlas, apakah ikhlas itu? Lalu Jibril berkata: Aku bertanya
kepada Tuhan Yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah sebenarnya? Allah menjawab:
Suatu rahasia dari rahasia-Ku yang aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang
Kucintai”(HR.Abdul Qasim al-Qusyairi dari Imam A li bin Abi Thalib). Sedangkan
dalam al-Qur’an, di antara ayat-ayat yang
dijadikan sebagai landasan untuk berbuat ikhlas adalh QS.al-Bayyinah/98:5. “Tidaklah orang-orang itu diperintah
melainkan agar supaya menyembah kepada Allah dengan tulus ikhlas beragama untuk
Tuhan semata-mata”.
Kata
ikhlas biasanya dikhususkan untuk memurnikan tujuan dalam beribadah kepada
Allah swt. Yaitu memurnikan dari segala macam campur tangan sesame makhluk.
Sebab, jika tujuan peribadatan itu sudah dicampuri oleh pengaruh lain, baik
yang berupa riya’(pamer), sombong, dll. Yang merupakan godaan hati, maka
amalan-amalan yang semacam itu tentulah sudah keluar dari pengertian ikhlas.
Hadits
Nabi yang dijadikan landasan tentang niat yang ikhlas adalah hadis riwayat
Bukhari: “Sesungguhnya amal perbuatan itu
tergantung pada niat, sungguh bagi seseorang melakukan perbuatan menurut
niatnya. Barang siapa hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia berhijrah
kepada dunia ia akan memperolehnya, atau kepada perempuan yang ia nikahi, maka
hijrahnya adalah kepada yang diniatkannya itu” (HR.Bukhari).
Jadi,
seseorang yang ikhlas dalam amalannya adalah seorang yang berbuat sesuatu dan
tidak ada pendorong apa-apa melainkan semata-mata untuk bertaqarrub kepada
Allah swt. Serta mengharapkan keridhaan-Nya saja. Keikhlasan yang demikian
tidak akan tercipta melainkan dari seorang yang betul-betul cinta kepada Allah
swt. Dan tidak ada tempat sedikitpun dalam hatinya untuk mencintai harta
keduniaan.
2.
Hakikat Ikhlas
Hakikat
ikhlas, ketahuilah bahwa setiap sesuatu bisa ternoda oleh yang lain. Jika
sesuatu itu bersih dan terhindar dari kotoran, maka itu dinamakan khalish (yang
bersih). Pekerjaan yang membersihkan disebut ikhlas. Allah berfirman:
….”(berupa)
susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah di telan bagi orang yang
meminumnya.” (an-Nahl:66)
Lawan
ikhlas adalah syirik. Siapa yang tidak ikhlas adalah musyrik, hanya saja
syirik. Ikhlas senantiasa datang kepada hati. Jadi tempatnya adalah hati dan
hal itu hanya berkenaan dengan tujuan dan niat. Disebutkan bahwa hakikat niat
itu mengacu kepada respon berbagai hal yang membangkitkan. Bila factor
pembangkitnya hanya satu maka perbuatan itu disebut ikhlas dalam kaitannya
dengan apa yang diniatkan. Siapa yang bersadaqah dengan tujuan riya’ (pamrih
kepada manusia) semata-mata maka dia (secara bahasa) disebut sebagai orang yang
mukhlish. Siapa yang tujuannya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah
maka dia juga disebut orang yang mukhlish. Tapi sudah menjadi tradisi bahwa
istilah ikhlas itu khusus berkenaan dengan tujuan semata-mata mencari taqarrub
kepada Allah dan pelakunya disebut mukhlish. Siapa yang pembangkitnya
semata-mata riya’ (pamrih kepada manusia) maka dia terancam kehancuran.
Dan
untuk memperoleh cinta Allah, usaha yang harus kita lakukan adalah memperbanyak
berbuat baik kepada sesame manusia, khususnya kaum dhu’afa. Allah berfirman: “SESUNGGUHNYA RAHMAT (CINTA) Allah sangat
dekat kepada orang-orang yang melakukan kebaikan” (QS. Al-A’raf: 56).
Dengan
seringnya kita berbuat baik kepada sesame manusia, berarti secara tidak
langsung kita membuka dan sekaligus akan memperoleh sebuah rahasia Allah yang
disebut ikhlas, sebagaimana dalam hadits diatas.
Berkaitan
dengan hakikat ikhlas ini, Dzun Nun al-Misry, seorang tokoh sufi, menjelaskan
tentang cirri-ciri orang yang berbuat ikhlas dalam amalnya, diantaranya: pertama, manakala orang yang
bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja; kedua, melupakan amal ketika beramal;
dan ketiga, jika ia lupa akan haknya
untuk memperoleh pahala di akherat karena amal baiknya.
Oleh
karena itu,amal yang sedikit yang dilandasi oleh keikhlasan itu lebih baik
daripada amal yang banyak tanpa dilandasi oleh keikhlasan. Artinya bahwa amal
yang sedikit yang dilakukan secara ikhlas dan dilakukan secara terus menerus
serta diusahakan untuk selalu menambahnya, disamping suatu perbuatan yang sangat
menyenangkan bagi pelakunya, orang lain, ni juga sangat disenangi oleh Allah
SWT.
Ali
bin Abi Thalib berkata” janganlah kamu prihatin karena sedikitnya amalan,
tetapi yang harus diperhatikan itu ialah apakah amalan itu dapat diterima oleh
Allah SWT ataukah tidak, sebab Rasulallah SAW pernah bersabda kepada Muadz bin
Jabal: “Ikhlaskanlah amalmu dan sudah mencukupi untukmu amalan yang sedikit
(asalkan dilakukan dengan ikhlas ). ( H.R Dailami).
BAB III
KESIMPULAN
”Taubat adalah
penyesalan.” Dengan pegertian ini taubat dikatakan bahwa arti taubat adalah
mencarinya apa yang ada di dalam karena kesalahan yang telah terjadi.
Zuhud
dalam istilah tasawuf berarti jalan spiritual atau tahapan-tahapan spiritual (maqamat) yang harus dilalui seorang
sufi. Zuhud artinya sikap menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan
dengan dunia.
“Wara’
adalah meninggalkan setiap hal yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang
tidak perlu, yaitu meniggalkan berbagai macam kesenangan.” Jadi prilaku wara’
para sufi telah mulai menghidari berbagai macam kenikmatan yang halal yang
menurut pertimbangan mereka tidak penting.
Secara
bahasa (lughah) kata ikhlas berasal dari bahasa Arab: khalasha, yakhlushu,
khulushan, ikhlashan, yang berarti bersih, tiada tercampur, jujur, tulus,
membersihkan sesuatu hingga menjadi bersih.
Jadi,
seseorang yang ikhlas dalam amalannya adalah seorang yang berbuat sesuatu dan
tidak ada pendorong apa-apa melainkan semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah
swt. Serta mengharapkan keridhaan-Nya saja. Keikhlasan yang demikian tidak akan
tercipta melainkan dari seorang yang betul-betul cinta kepada Allah swt. Dan
tidak ada tempat sedikitpun dalam hatinya untuk mencintai harta keduniaan.
DAFTAR PUSTAKA
Syukur
Amin, 2003. Tasawuf kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hawwa
Sa’id,2001. Mensucikan Jiwa. Jakarta
Timur: Robbani Press.
Simuh.
1996. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam
Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Asmaran.
1996. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Comments
Post a Comment